Minggu, 22 September 2013

Adat dan Tradisi




       Bidang adat dan Tradisi
Kegiatan yang dituangkan dalam program kegiatan di Bidang Adat dan Tradisi sangat bersentuhan langsung dengan masyrakat, diantaranya : Penyelenggaraan Pembinaan dan Lomba Desa pakaraman. Desa Pakraman/Adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu. Satu ikatan yang paling mendasar dalam mengatur masayarakat Bali yang masuk dalam perkumpulan orgnisasi-organisasi kemasyarakatan di Bali tiada lain adalah Awig-awig. Awig-awig sendiri merupakan aturan tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku bagi warga, yang didasari atas kesepakatan dan keputusan yang di ambil bersama-sama dalam sebuah wadah pertemuan besar dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat / warga di dalamnya.Kegiatan lainnya yang diprogramkan adalah pembinaan dan lomba Subak dan Subak Abian. Subak adalah merupakan salah satu lembaga tradisional yang ada di Bali yang bercirikan sosio agraris dan relegius sebagai aset budaya nasional. Adapun kebijakan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Bidang Adat dan tradisi seperti payung seperti: mengadakan inventarisasi keberadaan lembaga-lembaga adat, seperti desa pakraman, banjar, subak dan sekaa-sekaa lainnya sebagai kantong-kantong kebudayaan Bali. Kebijakan operasional dalam upaya pelestarian dan pengembangan budaya, sebagaimana yang telah digariskan adalah membentuk kebudayaan nasional yang kuat dengan didukung oleh komponen-komponen kebudayaan daerah sebagai sumber dan disisi lain melestraikan dan menghidupkan budaya-budaya daerah itu sendiri.Pada Program Pengembangan Nilai Budaya bidang adat dan tradisi juga memperlancar Pemberian bantuan keuangan kepada Desa Pakraman yang berjumlah 1471 desa pakaraman. Pemberian bantuan keuangan lainnya yang diprogramkan adalah bantuan kepada Subak dan Subak Abian yang sejumlah 2745 di kabupaten/kota se- Bali. Dalam melaksanakan pembinmm, pengembangan dan pelestarian kebudayaan Bali bukan-lah tugas pemerintah semata-mata tetapi merupakan tugas seluruh komponen masyarakat termasuk lembaga-lembaga non formal yang ada. Walaupun dalam pelaksanaannya peranan lembaga-lembaga formal tersebut tampak lebih dominan, tidaklah berarti lembaga-lembaga non formal yang ada tidak dilibatkan, Dalam hal ini terjalin kerjasama yang harmonis antara lembaga-lembaga formal dan non formal yang ada termasuk dalam masyarakat.

tradisi lebaran di bali

Ternyata, Bali Juga Punya Tradisi Lebaran

Denpasar - Siapa bilang di Bali tidak ada tradisi Lebaran yang seru. Meskipun di Pulau Dewata mayoritas penduduknya beragama Hindu, umat Islam di Bali punya tradisi Ngejot. Seperti apa, datang saja dan saksikan sendiri!

Ngejot, adalah tradisi Bali dalam memberikan makanan kepada tetangga sebagai rasa terima kasih. Umat Hindu biasa melakukannya saat merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Nah, umat Muslim di Kampung Islam Kepaon, Denpasar Selatan atau di Muslik Pegayaman di Kabupaten Buleleng, melakukan Ngejot kepada warga dan kerabat dekat menjelang atau pada Hari Raya Idul Fitri.

Jika warga Hindu ngejot makanan berupa urab, lawar, daging babi, maka umat muslim ngejot makanan khas Lebaran, seperti opor ayam. Ketua Takmir Masjid Al Muhajirin Kampung Islam Kepaon, Ikhsan Ibrahim, mengatakan tradisi Ngejot hingga kini masih lestari, khususnya komunitas Muslim yang bermukim di daerah pedesaan.

"Tradisi Ngejot bagi umat Muslim di Kepaon, sebagai wujud kerukunan antarumat beragama sehingga tetap mesra dan harmonis, hidup berdampingan satu sama lainnya," kata Ibrahim kepada detikTravel, Rabu (31/7/2013).

Tidak hanya Ngejot, selama Ramadan masih ada tradisi yang menarik yaitu Megibung. Ini adalah buka puasa dengan makan bersama dalam satu nampan. Megibung ini juga tradisi turun-temurun warga Kampung Islam Kepaon di hari 10, 20 dan 30 hari puasa. Dijelaskan Ibrahim, makna dari Megibung ini adalah berbagi kebersamaan di antara warga.

"Maknanya adalah kebersamaan, jadi tidak hanya khusus untuk warga di kampung sini, kami juga menerima para musafir dan mereka yang berkunjung untuk ikut megibung," ujarnya.

Kegiatan Megibung di Kampung Islam Kepaon ini dimulai menjelang bedug tanda berbuka puasa berbunyi. Satu persatu warga berdatangan ke Masjid Al-Muhajirin. Mereka berkumpul di teras masjid sembari menunggu datangnya waktu berbuka puasa. Saat waktunya tiba, kolak dan berbagai jajanan pun dibagikan.

Usai menyantap kolak, warga pun bersiap mengikuti salat maghrib. Setelah salat, barulah warga melakukan makan bersama dengan cara Megibung. Semua berbaur, ada Melayu, Bugis, Palembang maupun dari Bali sendiri. Mereka berkelompok 4-5, orang kemudian dibagikan makanan dalam nampan dan mereka makan bersama.

Tak hanya warga setempat, warga dari luar pun turut larut dalam kebersamaan itu. Seperti yang dikatakan Sugimo, meski dirinya bukan warga asli Kampung Islam Kepaon, namun ia tertarik untuk ikut serta dalam megibung. Pria yang tinggal di Renon, Denpasar, kegiatan ini terkesan dengan kebersamaan yang dilakukan oleh warga Kampung Islam Kepaon.

"Saat ini memang kita semua perlu meningkatkan rasa kebersamaan," pungkasnya.

Menikmati Lebaran di Bali seru juga, bukan? Di sisa hari Ramadan, traveler bisa ikut Megibung di masjid-masjid. Sementara di Hari Raya Idul Fitri nanti, mereka juga bisa ikut menerima Ngejot dari warga sekitar.

tradisi ngejot

“Ngejot”, Tradisi Menjaga Kerukunan Umat Beragama di Bali


Komunitas muslim di Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, Bali, melestarikan tradisi mengantar makanan atau “ngejot” kepada tetangganya yang beragama Hindu pada saat Lebaran.
“Kami melestarikan budaya turun-temurun dari nenek moyang,” kata H Bisri tokoh komunitas muslim Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kamis.
Tradisi itu biasa dilakukan oleh umat Hindu di Desa Pegayaman pada Hari Raya Galungan, Nyepi, dan Pagerwesi, kepada umat Islam.
Makanan yang diantar pun sudah dalam keadaan siap saji dan kue serta buah-buahan. “Kalau Idul Fitri, giliran umat Islam yang ‘ngejot’,” katanya.
Berbeda dengan memberikan atau mengantarkan makanan antar sesama umat Islam yang disebut dengan “merohak”.

tradisi perang

TRADISI PERANG YANG MASIH ADA DI BALI


 PERANG API (Ter-Teran/Siat Geni)
Lokasi : Desa Pakraman Jasri, Karangasem
Deskripsi singkat :
Tradisi dengan sarana prakpak (daun kelapa kering) digelar setiap dua tahun sekali, tepatnya pada hari Pangerupukan atau sehari sebelum hari raya Nyepi.  Tradisi perang api didesa Jasri, selain untuk menyambut pergantian tahun baru caka, juga dilakukan serangkaian dengan upacara usaba Dalem didesa adat setempat
Sebelum perang api dimulai, warga yang mengikuti tradisi tersebut sebelumnya melakukan persembahyangan. Selanjutnya mereka terbagi dalam tiga kelompok besar masing-masing menempati sebelah utara disekitar pohon beringin, sebelah selatan dipatung salak dan bagian tengah di Bale Agung. Meskipun panas terkena semburan api, namun ratusan warga Jasri yang mengikuti tradisi tersebut nampak tetap bersemangat. Tidak ada terlihat wajah ketakutan. Tradisi dua tahunan ini juga menjadi tontonan wisatawan.
                Foto :
                
                                                                                                                   
2.       PERANG KETUPAT (Perang Tipat Bantal)
Lokasi : Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung
Deskripsi singkat :
             Perang ini adalah sebuah ritual tradisi tahunan yang digelar sejak tahun 1337 oleh masyarakat lokal di Desa Adat Kapal, Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Perang Ketupat merupakan bentuk rasa terima kasih warga kepada Sang Hyang Widhi atas panen juga sebagai doa agar terhindar dari kekeringan. Perang yang tergolong unik itu setiap tahun sekali wajib dilakukan masyarakat Desa Kapal, kabupaten Badung, sesuai perintah (bhisama) Ki Kebo Iwa sejak tahun 1263 atau tahun 1341 masehi.
           Kepercayaan tersebut dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga kini masih tetap lestari. Perang ketupat itu ditujukan kepada masyarakat Desa Kapal untuk melakukan “Tajen pengangon” untuk mohon keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Tradisi ini sering juga disebut Aci Rah Pengangon oleh masyarakat setempat. Ritual ini diawali dengan upacara sembahyang bersama oleh seluruh warga desa di pura setempat. Pada upacara tersebut, pemangku adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan para warga peserta Perang Ketupat ini.
               
                Foto :
               
3.      GEBUG ENDE/Gebug Seraya
Lokasi : Desa Adat Seraya, Karangasem
Deskripsi singkat :
                Gebug Ende  berasal dari kata gebug dan ende. Gebug artinya adalah memukul sedangkan alat yang digunakan adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5  hingga 2 meter. Sementara alat untuk menangkis disebut denga Ende. Ende dibuat dari kulit sapi yang dikeringkan selanjutnya dianyam berbentuk lingkaran.
Diceritakan Jaman dahulu krama desa seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang ditugaskan untuk “menggebug” atau menyerang Lombok. Setelah jaman kerajaan jiwa dan semangat kesatria seraya masih tetap menyala hingga kini. Disesuaikan perkembangan jaman maka terciptalah sebuah tarian Gebug Ende yang secara turun temurun dapat kita saksikan hingga kini. Tombak Pedang dan Tameng yang digunakan jaman dahulu diganti dengan peralatan rotan dan Ende. 
                Dan bila dalam pertandingan tersebut ada darah yang menetes, dipercaya hujan akan turun setelah pertandingan tersebt usai.
                 Foto :
4.       PERANG PANDAN (Mekare-kare)
Lokasi : Desa Adat Tenganan, Manggis, Karangasem
Deskripsi Singkat :
            Perang pandan atau yang sering disebut mekare-kare di Desa Tenganan, Manggis , Karangasem, Bali dilakukan oleh para pemuda dengan memakai kostum/kain adat tenganan, bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan perisai untuk melindungi diri. Tradisi ini berlangsung setiap tahun sekitar bulan Juni, biasanya selama 2 hari. Perang pandan diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, setelah itu perang pandan dimulai dan kemudian ditutup persembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan menghaturkan tari Rejang.
           Pasangan pria yang masing-masing dilengkapi perisai anyaman dan bersenjata seberkas potongan daun pandan berduri beradu ketangkasan untuk saling melukai lawannya. Duri pandan yang tertancap dalam atau merobek daging tubuh disusul cucuran darah segar adalah risiko bagi pelaga yang tidak tangkas menangkis. Namun, dari atraksi itu pengunjung juga disuguhi pemandangan kontras. Aksi saling melukai tersebut justru dilakukan sambil mengembangkan senyum ceria. 
             Atraksi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra. Sang dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi perang pandan dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.
                Foto :
                
5.       PERANG SIAT SAMPIAN
Lokasi : Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar
Deskripsi Singkat :
            Prosesi ini diikuti oleh para premas atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para pemangku pura setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai dilanjutkan dengan upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita yang berjumlah 46 orang, serta laki-laki atau semeton parekan yang juga sudah disucikan berjumlah 309 orang melakukan upacara Ngombak. Upacara ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan satu sama lainnya, kemudian bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita tersebut langsung mengambil Sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling pukul serta lempar atau perang dengan sampian satu sama lainnya.
            Sampian itu merupakan lambang senjata Dewa Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk memerangi Adharma (kejahatan). Filosofi yang diambil dari tradisi ini adalah untuk mengenyahkan Adharma atau kejahatan dari muka bumi.  Selain simbol perang terhadap kejahatan, ’siat sampian’ juga untuk merayakan bersatunya berbagai sekte keagamaan (Hindu) di Bali, disamping untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin.
          Foto: 
6.       PERANG KAYU (Mekotek)
Lokasi : Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung
Deskripsi singkat :
perang kayu yang selalu dilakukan warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, di setiap perayaan Kuningan. Perang ini berbeda dari perang pada umumnya. Tidak ada senjata tajam dan satu sama lain tidak saling menyerang. Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain. Seribu lebih warga dari 12 banjar di desa Munggu ikut serta dalam tradisi yang diwariskan saat perayaan kemenangan perang Blambangan pada masa kerajaan silam. Setiap warga yang mengikuti Mekotek diwajibkan membawa sebuah kayu jenis pulet yang panjangnya sekitar 3,5 meter.
Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok dan menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut. Kemudian, ada salah seorang warga yang naik di atas tumpukan kayu tersebut untuk ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain. Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa ini puluhan tahun lalu. Pada tahun 1915, Belanda melarang diadakannya tradisi Mekotek karena takut terjadi pemberontakan, kemudian munculah bencana berupa wabah penyakit yang menewaskan 10 orang setiap harinya," ujar Ketua Kerta Desa Munggu Ida Bagus Gede Mahadewa. "Setelah itu, kami melakukan negosiasi dengan Belanda dan akhirnya diizinkan kembali untuk menggelar kembali tradisi ini dan tidak pernah ada lagi bencana seperti sebelumnya," tambahnya.
               Foto :
7.       PERANG PISANG (Mesabatan Biu/Siat Biu)
Lokasi : Desa Tenganan Dauh Tukad, Manggis, Karangasem
Deskripsi singkat :
Perang Pisang ini dilakukan dalam rangka melakukan pemilihan ketua dan wakil ketua kelompok pemuda di desa ini. Tujuannya ialah untuk melakukan tes dan uji mental kepada para calon yang akan menjadi pemimpin desa setempat. Mereka harus lulus ujian dalam tradisi ini jika ingin “karier”-nya sebagai tokoh pemuda di Tenganan berjalan dengan mulus. Guna mempersiapkan fisik dan mental seorang calon pemimpin, warga Desa Tenganan Dauh Tukad, Karang Asem, Bali, menggelar tradisi perang pisang (siat biu). Dalam tradisi tersebut, pemuda calon pemimpin harus siap melakukan perang pisang melawan para pemuda desa lain. Tradisi tahunan itu dilakukan sejak pagi. Warga di desa itu melakukan berbagai persiapan. Dan para pemuda wajib menyiapkan 20 butir kelapa dan sesisir pisang, tanpa dibantu orang lain. Setelah siap, kelapa dan pisang dipanggul sebagai bentuk syukur atas panen hasil bumi yang nantinya akan disumbangkan ke desa.
Maka, perang pun dimulai saat calon pemimpin itu tiba di desa. Calon saya dan penampih atau calon ketua dan wakil ketua pemuda akan menjadi sasaran lemparan pisang dari pemuda-pemuda desa. Jika ada yang jatuh, maka denda seharga buah yang jatuh harus dibayarkan. Usai perang, acara makan bersama (megibung) pun dilakukan. Hal ini dimaksudkan, untuk menjaga keharmonisan di antara warga. Melalui tradisi perang pisang (siat biu), warga berharap, pemuda desa siap mengembang tugas berat sebagai pemimpin pemuda. Bahkan, ia siap menjadi tokoh adat yang mampu menjaga keutuhan desa.                     

Foto: 




 PERANG PELEPAH BATANG PISANG (perang papah biu)
Lokasi : Desa Pegotan, Bangli
Deskripsi singkat :
           Hampir mirip dengan tradisi tatebahan di karangasem yang menggunakan pelepah daun pisang, namun pada peserta perang papah biu dipersenjatai dengan pelepah pisang (yang ada di batangnya gan) yang telah dipotong-potong sepanjang setengah meter. "Tidak ada aturan yang baku dalam Perang Papah Biu yang digelar oleh masyarakat setiap November ini. Para pemain bebas menggebuki lawan dan memukul dengan senjatanya, yakni pelepah pisang. Karena itu, katanya, banyak peserta yang terluka karenanya. Meskipun demikian, tidak ada rasa sakit di tubuh korban yang terluka serta tidak ada dendam.
"Sebenarnya tradisi Perang Papah Biu ini oleh masyarakat lebih dikenal sebagai Tari Baris Babuang, yang sakral dan hanya ada satu-satunya di desa Pakraman Pengotan sebagai warisan ratusan tahun silam," katanya.
                 Foto :
 PERANG PELEPAH DAUN PISANG (Tatebahan)
Lokasi : Desa Bugbug, Karangasem
Deskripsi singkat :
Upacara TATEBAHAN secara khusus dilaksanakan setahun sekali, yang bertepatan pada rahina purwaning purnama sasih Jiyestha nuju beteng. Selain itu tradisi ini juga selalu diadakan dalam serangkaian aci besar di Bugbug seperti aci Gumang , dimana aci ini melibatkan masyarakat yang memiliki hubungan historis, dikenal dengan sebutan krama/masyarakat Catur Desa (Bugbug, Jasri, Bebandem, dan Ngis) serta saat Usaba Kaja yang melibatkan masyarakat Datah. Tujuannya disini adalah menjalin rasa persaudaraan dan persatuan antar warga sebagai ikatan dan jalinan tali kasih antar krama Catur desa dan krama Datah.  
Secara khusus prosesi upacara TATEBAHAN umumnya dilakukan oleh krama laki-laki(baik tua maupun muda) bertempat di pura desa Bale Agung desa Adat Bugbug yang dilaksanakan pada pagi hari. Sebelum dilangsungkan upacara ini setiap Krama (masyarakat) Bugbug menyiapkan perlengkapan yang diperlukan seperti pelepah daun pisang (papah biu) sebanyak satu ikat kurang lebih 5 batang. 

Foto: 
PERANG JEMPANA
Lokasi: bukit gumang karangasem dan banjar timbrah desa pakse bali
deskripsi singkat:
            Tradisi Perang Jempana rutin di laksanakan setiap 210 hari (6 bulan) sekali yaitu setiap Hari Tumpek Kuningan atau sepuluh hari setelah hari Raya Galungan. Perang Jempana merupakan ritual cengkrama para Dewa yang dilaksanakan saat perayaan Hari Raya Kuningan, yaitu serangkaian perayaan kemenangan "Dharma" (kebenaran) melawan "Adharma" (kejahatan)
             Foto: 

Omed-Omedan

Omed-omedan, Tradisi Ciuman Massal di Bali

      
        Sehari pasca-Nyepi ada sebuah tradisi unik yang diselenggarakan pemuda dan pemudi di Sesetan, Denpasar, Bali. Yaitu omed-omedan atau tarik-tarikan hingga ciuman sebagai wujud kebahagiaan di hari ngembak geni.

Omed-omedan berarti tarik-menarik. Merupakan budaya leluhur yang hingga kini masih dilestarikan. Peserta omed-omedan adalah sekaa teruna-teruni atau pemuda-pemudi mulai dari umur 17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa tetapi belum menikah.

Prosesi omed-omedan dimulai dengan persembahyangan bersama antarpeserta omed-omedan di pura untuk memohon keselamatan dan kelancaran selama berlangsungnya acara. Seusai sembahyang, peserta dibagi 2 kelompok, pria dan wanita.

Sekitar 50 pemuda berhadapan dengan 50 pemudi. Setelah ada aba-aba dari para sesepuh desa, kedua kelompok saling bertemu satu sama lain dan peserta terdepan saling berciuman di depan ribuan penonton yang memadati sekitar lokasi omed-omedan.

Prosesi tersebut dilakukan secara bergantian dan setiap peserta pria ataupun wanita menunjuk salah seorang rekan mereka untuk beradu ciuman di barisan terdepan. Sesepuh desa menggunakan ember melempar air ke pasangan untuk memadamkan aksi mereka.